Aku berlari secepat yang kubisa, berusaha tak menghiraukan tanda biru kehitaman yang ada di kakiku. Samar-samar aku bisa mendengar seseorang meneriakkan namaku dari belakang. Suara orang itu seakan memotivasiku untuk berlari lebih cepat.
●○●
"Alisha, apa kau yakin bisa ambil nilai olahraga hari ini?" tanya seorang gadis berseragam olahraga di depanku.
"Tidak apa Pat, aku akan baik-baik saja," jawabku sambil mengikat rambut cokelatku.
"Aku bisa meminta izin guru olahraga hari ini jika kau mau," lanjutnya.
"Patricia, aku pasti bisa! Jangan khawatirkan aku," aku menjawabnya sambil tersenyum dan mengangkat kedua tanganku, berusaha menyakinkannya.
Hari ini, materi olahraga yang diujikan adalah lari jarak 100 meter. Untuk membuktikan bahwa aku baik-baik saja, aku harus bisa berlari dengan kecepatan yang baik, rata-rata 17 detik kurasa.
"Bersedia, siap, ya!"
"Alisha, 16.45," ucap sang guru setelah aku selesai berlari.
Aku menghela nafas, merasa puas karena telah berhasil membuktikan kemampuanku.
"Kau memang hebat Sha! Kau pelari perempuan tercepat!" ucap Patricia sambil meminum segelas air yang baru saja dia ambil.
"Tidak, tidak juga," jawabku.
Dari tempatku berdiri sekarang, aku bisa melihat seseorang berjalan mendekatiku. Ia anak laki-laki seusiaku, namun badannya jauh lebih besar dariku. Tatapannya, agak mengerikan. Dia mengingatkanku pada seseorang yang menakutkan. Anehnya, Patricia sudak tak ada di sebelahku dan aku sendirian di sini saja sekarang.
"Alisha, selamat telah mencetak skor tertinggi tadi," ucap Keanu, anak laki-laki bertubuh besar mengerikan itu.
Aku bahkan tak berani menatap matanya. "Iya terimakasih," ucapku singkat sambil menunduk, kemudian bersiap berlari meninggalkannya.
"Tunggu Alisha!" Keanu memanggil. Dari tadi aku sudah berharap ia tak memanggilku lagi.
"Iya ada apa?" balasku tanpa tersenyum sedikitpun.
"Aku cuma mau bilang.... semoga harimu menyenangkan," ucapnya sambil tersenyum lebar padaku.
Aku tak bisa tersenyum sedikitpun. Sepertinya aku baru saja menghancurkan perasaannya. Tapi orang bertubuh kekar seperti dia pasti tidak punya perasaan selemah itu. Yang ada malah kemungkinan besar ia akan memukuliku.
"Apa? Kau bicara dengan Keanu? Kau serius?"
"Patricia! Itu bukan hal besar!"
Aku menutup mulut Patricia dengan sendok eskrim. Hampir semua orang menatap kami dengan tatapan mengerikan. Kuharap semuanya baik-baik saja.
"Patricia, kau hampir membawa kita dalam masalah!" ucapku kesal.
"Ngomong-ngomong, apa perasaan itu masih ada?" tanya Patricia dengan volume suara pelan, hampir berbisik.
"Perasaan?"
Patricia adalah orang yang kupercayai untuk berbagi perasaanku. Tentang trauma masa kecilku karena kakakku yang jauh lebih tua dariku sering memukulku. Karena itu aku bersikap agak tomboy dan berlatih banyak pertahanan diri. Namun rasa takut tetap muncul saat ada orang berbadan besar seperti kakakku menghampiriku. Mungkin karena itu aku takut pada Keanu.
"Tapi kalau dia tulus padamu, kau tidak boleh menyia-nyiakannya hanya karena traumamu," ucap Patricia.
"Entahlah Pat. Aku bahkan tidak tau dia punya perasaan padaku atau tidak," jawabku sambil menundukkan kepala.
"Keanu itu jarang menunjukkan perhatian pada perempuan lain, bahkan saat ada yang menyukainya. Jadi, menurutku tidak buruk kalau kau bersamanya," Patricia menanggapi.
Sepanjang perjalanan pulang aku memikirkan kata-kata Patricia. Apa ini hanya aku yang terbawa perasaan, atau memang benar? Apa Keanu orang baik? Bagaimana kalau dia sebenarnya sama seperi kakakku?
"Alisha,"
Aku terkejut, bahkan aku menjerit ketakutan, sekaligus kaget. Sesosok bertubuh besar tiba-tiba langsung muncul dari belakang pohon dan meneriakan namaku.
"Maaf aku tidak bermaksud mengagetkanmu, Alisha,"
Keanu?
"Alisha, tolong jangan takut aku...."
Setelah beberapa detik aku baru menyadari kalau sedari tadi aku bernafas kencang dan jantungku berdebar cepat sampai aku benar-benar mematung sekarang.
"Alisha, aku hanya memberikanmu ini,"
Keanu mengeluarkan sebuah boneka landak dengan duri di atasnya. Itu manis, menurutku. Aku mengambil boneka itu dari tangannya dan langsung mengelus durinya. "Terimakasih, Keanu," ucapku.
Keanu tersenyum, lalu berkata, "Aku senang kau menyukainya."
Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Dengan berusaha kuat aku tersenyum padanya.
"Alisha, aku...." ia menghela nafas sejenak, lalu melanjutkan, "Aku tidak tau apa yang kau pikirkan tentangku tapi...."
Dia berhenti bicara. Karena penasaran aku memberanikan diri menatap matanya.
"Aku hanya ingin jadi temanmu, atau mungkin pelindungmu. Aku tidak mau menyakitimu, itu saja," ucapnya. "Landak itu, simbol pertahanan diri dan perlindungan. Kuharap kau mau menyimpannya untukku," kata Keanu.
Aku benar-benar tersentuh dengan kata-katanya. "Um Keanu, kupikir selama ini aku salah paham denganmu. Aku menghargai pemberianmu ini dan.... aku merasa sangat tersanjung untuk menjadi temanmu," ucapku sambil tersenyum dengan percaya diri.
Keanu pun tersenyum melihatku. Kami berdua berjalan bersama ke rumah. Sejak saat itu, aku selalu menyapanya dengan senyuman tulus saat bertemu. Rasa trauma akan kakakku memang belum hilang, tapi aku yakin Keanu adalah teman yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar