Memang sakit bukan apabila sesuatu yang telah kau rencanakan dengan baik harus berakhir dengan kegagalan? Jangan khawatir, aku juga sama denganmu,
Well, aku belajar mati-matian supaya bisa memenangkan kompetensi bergengsi itu. Bahkan "dia" ikut menyemangatiku sebelum bertanding. Tapi apa daya kalau takdir berkata sebaliknya.
"Jangan khawatir, Rin. Kompetisi bukanlah segalanya," kata-kata "dia" masih menggema di telingaku.
Dia, Leo memang ahlinya penyemangat bagiku. Sudah beberapa kalinya aku bercerita tentang masalah yang kualami padanya. Niat awal hanya mencurahkan isi hati padanya akan berakhir dengan pencerahan dan semangat baru.
"Kau benar-benar sibuk belakangan ini," kataku pada Leo, melihat dirinya setelah sebulan tak bertemu.
"Tentu, sebentar lagi kan ujian. Tahun depan pun kau akan merasakannya," jawabnya santai.
Dari raut wajahnya, Leo tak tampak menghawatirkan sesuatu. Memang ia dikenal sebagai anak yang cerdas. Aku jamin ujian bukanlah hal yang berat baginya. Meskipun sibuk ia tetap menjalani setiap tantangan dengan santai. Ia bercita-cita bisa lulus dengan nilai ujian yang baik dan diterima di salah satu perguruan tinggi negeri ternama.
Harusnya aku bisa tenang mengingat mimpinya bukanlah hal yang sulit untuk diwujudkannya. Tapi, ada sedikit rasa takut dalam hatiku. Rasa yang membuatku tak ingin waktu berlalu begitu cepat.
Kenyataan bahwa ia akan segera meninggalkanku.
Memang terdengar konyol mengingat seseorang harus melanjutkan ke jenjang kehidupan selanjutnya. Namun, aku merasa bahwa setelah Leo pergi, aku akan kehilangannya. Belum tentu kelak tahun depan aku bisa masuk ke perguruan tinggi yang sama dengannya.
Kutatap kalender yang ada di depanku.
30 Maret, hari sebelum hari terakhir di bulan Maret.
Pikiranku melayang ke tahun lalu. Teringat bagaimana kami berdua sama-sama dipersiapkan sekolah untuk mengikuti pertandingan yang sama. Aku tidak mengerti sama-sekali materi yang akan diujikan. Itulah pertemuan dan percakapan awal kami. Dia dengan malu-malu mengajariku setiap materi. Lambat laun, kami jadi lebih sering saling menyemangati. Hal itu berlanjut sampai sekarang.
Namun sebentar lagi ia akan pergi, dan aku akan sendirian.
Aku belum rela berpisah dengannya. Memang kami hanya berteman. Namun ada rasa yang membuatku selalu ingin ada di dekatnya, bahkan tak mau berpisah sedetikpun. Tanpa kusadari aku mulai tertidur dengan mata basah.
Keesokan harinya, tanggal 31 Maret, aku mengunjunggi kelasnya. Seperti biasa, ia sedang makan bekal dari rumahnya sambil membaca sebuah buku. Setelah ia melihatku, ia langsung mengajakku keluar ke kantin untuk duduk bersama.
"Hey, bagaimana pelajaranmu barusan?" tanyanya, yang biasanya digunakan untuk memancingku menceritakan sebuah masalah.
"Hm, sepertinya baik-baik saja hari ini," jawabku.
Kami terdiam. Aku hanya bisa menundukkan kepalaku.
Beberapa detik atau menit kemudian, aku tak tahu karena sudah larut dalam lamunan, ia sudah menatapku.
"Rin, kau tahu...." ia berkata sambil menggaruk-garuk kepalanya, "hari ini, mungkin hari terakhir kita bisa duduk makan di kantin sekolah ini."
Aku paham maksudnya. Aku masih menunduk, karena jika aku menganggkat kepalaku mungkin aku akan menangis.
"Bukan berarti kita tak bisa bertemu lagi kok. Setelah ujian, kalau ada masalah silakan datang padaku. Aku punya banyak waktu untuk membantumu," ucapnya sambil tersenyum.
Refleks aku bertanya, "bagaimana kalau kau pergi kuliah?"
Ternyata aku menaikkan volume suaraku terlalu tinggi. Dia terdiam, menyuap sesendok makanan ke dalam mulutnya. "Kurasa ada sesuatu yang aku mau kau tahu."
Jantungku berdebar kencang. Apa aku telah melukai hatinya? Apa dia lelah melayani pertanyaanku? Sepertinya tidak, karena tadi dia yang menawarkan diri. Tapi kalau melukai hatinya, mungkin saja terjadi.
"Rin, aku...." ia menatapku, lalu dengan cepat menundukkan kepalanya. "Aku merasa nyaman saat kau ada di dekatku. Aku senang saat kau datang dan curhat tentang masalahmu. Aku merasa aku membutuhkan itu semua. Dan, lalu...."
Ia berhenti sambil menggaruk-garuk kepalanya. "Kau kenapa?"
Ia kembali menatapku. "Aku ingin selamanya kita bisa bersama. Meski mungkin kita sudah tidak satu sekolah, tidak satu kota, tidak satu provinsi. Aku akan melakukan apapun supaya kau bisa terus ada di hatiku."
"Mungkin tidak dengan tatap wajah, tapi melalui sosmed?" tanyaku.
Dia menghela nafas. "Rin, kurasa aku menyukaimu, lebih dari teman."
Mendengar ucapannya, tak hanya jantungku yang sepertinya berhenti, tetapi juga otakku berhenti bekerja. Aku kehabisan kata-kata. Namun dalam hatiku rasanya ada kembang api yang menyala dengan indahnya. Aku tak sadar apakah wajahku memerah pada saat itu.
"Maafkan aku Rin. Mungkin tak seharusnya aku ucapkan semua itu," tiba-tiba ia pergi meninggalkanku.
"Tunggu!" refleks aku menghentikan geraknya. "Leo, aku.... juga merasakan hal itu."
Senyum terukir di bibirnya. "Terimakasih, Rin," ucapnya. "Tapi, sebaiknya kita bersahabat dulu ya. Maksudku... aku tak mau kita berakhir tak menyenangkan, jadi...."
"Tidak perlu dilanjutkan, " ucapku menyela omongannya. "Aku mengerti itu. Sekarang, sebaiknya kita mulai kembali ke kelas kita. Bel segera berbunyi, sahabat!"
Sebelum bulan Maret berakhir, aku telah menemukan seorang sahabatku, yang dulunya adalah temanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar