Senin, 17 Oktober 2016

Life is Full of Dramas

"Ah, tingkah antagonis yang jahatnya kebangetan itu cuma ada di film-film. Di kehidupan nyata, mana mungkin ada orang setega itu."

Ada yang pernah mendengar kalimat seperti di atas? Atau barangkali kita sendiri yang mengucapkannya? Tenang, bagi yang menjawab iya, kita sama.

Belakangan ini saya dipertemukan dengan sebuah masalah pertemanan. Walau bukan saya yang menghadapi, jiwa empati saya menggerakkan hati untuk membagikan kisah ini kepada kita semua.


Rekan saya sedang berkonflik dengan sahabatnya (mungkin sekarang disebutnya mantan). Nah, teman-teman dekat dari rekan saya ini tidak ada yang mendukungnya, semuanya berpihak pada teman konfliknya. Hal ini membuat rekan saya jadi sering bersosialisasi dengan orang-orang lain di sekitarnya.

Salah satu orang yang didekati oleh rekan saya adalah anak yang sangat pemalu. Namun diam-diam ia berambisi untuk menjadi anak populer sekolah. Saya sering melihat keakraban yang terjalin antara rekan saya dan anak pemalu itu walau mereka tergolong baru kenal. Si anak pemalu itu pun menjadi lebih berani untuk mendekatkan diri dengan orang lain, termasuk teman-teman konflik dari rekan saya.

Teman-teman konflik rekan saya tergolong anak-anak yang cukup modis dan "gaul". Si anak pemalu pun merasa kalau cara untuk menjadi anak populer adalah bergaul dengan mereka. Akhirnya mereka menjadi semakin dekat. Namun rekan saya tetap bersahabat dengan anak pemalu itu. Saat ditanya alasannya, dia menjawab, "Kan yang ada konflik aku. Dia (si anak pemalu) jangan sampai terlibat masalah ini." Perkataannya benar-benar menunjukkan sikap kedewasaan dan profesionalisme.

Hal yang mengejutkan adalah pada saat saya sedang berada di toilet, tanpa sengaja saya menguping pembicaraan teman-teman konflik rekan saya dan si anak pemalu yang sudah sangat dekat. Dengan lancarnya mereka menjelek-jelekkan rekan saya, bahkan si anak pemalu pun ikut-ikutan. Saya yang mendengarnya ikut sakit hati. Mungkin ini wajar bagi teman-teman konfliknya, tetapi yang paling menyedihkan adalah tentang si anak pemalu. Rekan saya sudah berusaha untuk tidak membawa si anak pemalu ke dalam masalah ini, namun demi popularitas dan persahabatan tidak sehat si anak pemalu melupakannya.

Anehnya, di hari berikutnya si anak pemalu masih mengajak bicara rekan saya. Bahkan ia berusaha mengakrabkan diri dengannya. Saya sendiri merasa menceritakan peristiwa di toilet kepada rekan saya bukan solusi yang baik. Berharap saja, suatu saat semuanya akan terbongkar dan hanya hal baik yang terjadi.

Kalau saya mengingat-ingat peristiwa ini, benar-benar merasa seperti drama, bahkan lebih kejam dari antagonis. Orang-orang sekitar menjadi semakin jahat. Kita tidak pernah tahu siapa yang akan menusuk kita dari belakang.

Beware, fake friends everywhere

Tidak ada komentar:

Posting Komentar