Ah, aku terjebak dalam kondisi tidak enak ini. Kedua orangtua dan bibiku enak-enak saja meninggalkanku dengan Elliott, sepupuku yang baru berusia 6 tahun. Kata bibiku, dia bukan anak yang suka merujuk tanpa alasan. Tapi dia tidak suka dimarahi.
Elliott mengambil sebuah kotak dari kamarnya. "Ayo kakak! Liat puzzle baru ini. Aku susun ya," katanya. Aku hanya melihat ia menyusun puzzle berukuran 4×5. Bukan sesuatu yang sulit, bahkan untuk anak seusianya. "Kakak lihat gambarnya! Aku sudah selesai." Puzzle bergambar sebuah boneka beruang itu benar-benar sederhana. Elliott kemudian mengambil sebuah puzzle lagi yang lebih besar.
Daripada hanya melihatnya, lebih baik aku main saja dengan ponselku. Aku memang ke sini tidak semata-mata ingin menjaga Elliott, tetapi ingin menghindari janji dengan teman. Bayangkan saja, ia tiba-tiba menjauhiku dan hanya datang kalau butuh bantuan. Kali ini temanku ingin mengajakku bermain skateboard. Aku jamin ia hanya ingin meminjam skateboardku dan membagikan fotonya di media sosial untuk mendulang popularitas. Memang parasit.
"Kakak, kakak bosan ya di sini?" tanya Elliott yang tentu saja agak mengagetkanku.
"Eh, tidak kok Elliott. Kamu main saja," jawabku.
Elliott menarik tanganku, memintaku mendekat. "Kakak ada di rumahku. Aku tidak mau ada yang bosan di sini." Ia mengeluarkan puzzlenya yang paling bawah. Sepertinya agak rumit, ukurannya lebih dari 10×10. "Kak, aku selalu lama menyelesaikan yang ini. Bantu aku ya kak?" ucap Elliott dengan wajah memohon.
Karena tak tahan dengan wajah itu, aku membantunya. Wajah memelas Elliott benar-benar lucu. Aku tersenyum-senyum sendiri saat melihat wajahnya itu.
Puzzle Elliott kali ini tak semudah yang aku kira. Perlu waktu lebih dari 5 menit untuk menyelesaikannya. Tapi sekarang, sebuah gambar pemandangan indah telah terbentuk di depanku.
"Kakak lihat, Gunung Fuji! Bagus ya," kata Elliott.
"Iya bagus," jawabku singkat.
"Ayah...." Elliott mulai kehilangan senyumnya, "Sebelum meninggal ayah sering bilang kita akan liburan ke sini."
Elliott mulai menangis. "Elliott, sudah-sudah," ucapku mencoba menenangkan.
Elliott menatapku. "Tidak apa-apa kakak. Nanti aku yang akan mengajak ibu ke sana," ucapnya sambil tersenyum.
Sore hari jam 3, bibiku pulang bersama orangtuaku. Setelah berpamitan aku pulang bersama orangtuaku ke rumah. Sepanjang perjalanan aku memikirkan Elliott. Sungguh sulit rasanya berada di posisinya, tapi ia tetap kuat. Sekarang aku hanya duduk sambil memikirkan rencanaku tentang temanku yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar