Rabu, 14 Desember 2016

Cerpen - Sebuah Meja Tua

Sudah lama aku berdiri di sini. Sejak Tuan Henry belum bisa berjalan sampai entah sekarang dia bagaimana, aku tetap di sini. Mengingat bagaimana Tuan Henry berpegang padaku saat belajar berdiri dan berjalan, benar-benar masa nan indah dan damai.

Masih kuingat juga saat Tuan Henry mulai menekan-nekankan pensil pada kertas di atas diriku. Memang aku tak bisa melihat apa yang ia lakukan. Tapi aku bisa mendengar ayahnya mengatakan kalau apa yang ia kerjakan itu bagus. Aku ikut senang saat melihat senyumannya.

Setelah itu, Tuan Henry selalu meletakkan buku-buku berat di atasku. Tekanan pulpennya pun tak bisa kurasakan sakin tebalnya buku itu. Terkadang aku bisa mendengarnya menangis saat ayahnya berkata, "Kamu ini kalau belajar yang serius! Begini saja nilainya jelek!". Menyedihkan bukan? Tapi aku masih sering melihat ia tersenyum. Ia bahkan merias bagian atasku dengan foto-foto keluarganya.

Sekian tahun berlalu. Rumahku sekarang sudah menjadi rumah keluarga Tuan Henry dan istrinya. Banyak benda-benda modern di sekitarku. Terkadang aku minder dengan penampilanku. Kegembiraan mulai jarang kurasakan karena aku jarang melihat Tuan Henry. Aku hanya bisa mendengarnya berpamitan pergi dan pulang sore, begitu setiap hari.

Suatu hari, Tuan Henry bersama istrinya datang ke hadapanku. Istrinya berkata, "Tadi aku melihat tukang barang bekas. Kita jual saja meja tua ini, daripada bikin penuh ruangan." Aku benar-benar sedih mendengarnya. Itu artinya, aku tidak akan bisa melihat Tuan Henry lagi dan merasakan kebahagiaan. Wajah mereka berdua saat ini pun tidak tampak bahagia.

Tuan Henry terdiam, tampak sedang memikirkan sesuatu. Ia menarik tangan istrinya untuk duduk di kursi dekatku dan berkata, "Ada sesuatu yang membuatku tidak ingin menjualnya."
Aku berusaha mendengar cerita Tuan Henry. "Kau tahu, dulu ayahku berjuang mati-matian untuk membuat meja ini. Ia merancangnya sendiri," kata Tuan Henry. "Kalau melihatnya, aku selalu ingat akan besarnya cinta dari orang tuaku," sambungnya.

Aku terharu. Sepertinya aku bisa begitu mengasihi Tuan Henry karena aku dibuat dengan cinta yang tulus dari ayahnya. Beberapa hari kemudian Tuan Henry mengecat ulang tubuhku dan menguatkan bagian kakiku. Aku hanya berharap bisa terus bermanfaat bagi orang lain, dan melihat banyak kegembiraan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar