Jumat, 18 Maret 2016

Cerpen - Kue Tabur Salju

          Aku sudah tak sanggup lagi berhadapan dengannya. Ia sudah benar-benar keterlaluan rasanya. Ini bukan saja menghancurkan nilai mata kuliahku, tetapi juga menghancurkan nama baikku di hadapan semua orang termasuk dosenku. Jika aku bertemu dengannya rasanya aku benar-benar harus menahan diri untuk tidak menarik rambutnya yang terlalu panjang untuk ukuran laki-laki.
          Keping-keping salju berjatuhan dari langit, membuat suhu bertambah rendah. Sesekali syalku tersibak sehingga aku harus menahannya dengan tanganku. Tinggal seorang diri di sebuah perumahan kecil untuk menempuh jenjang perguruan tinggi memang menuntutku untuk berjalan kaki. Tapi jika dilihat sisi positifnya, aku bisa bertambah sehat pastinya.
          Aku tinggal di sebuah kompleks perumahan kecil pinggir kota. Dulunya itu rumah nenekku namun karena ia mengidap penyakit pernapasan yang cukup parah kedua orangtuaku mengirimnya untuk tinggal di daerah pegunungan bersama paman bibiku. Daripada rumahnya dibiarkan kosong jadi aku diperbolehkan tinggal di sana.
          "Yvonne, baru pulang sekolah ya?" tanya seorang tua yang membawa sekop.
          "Iya Tuan Gray. Bagaimana kabar Nyonya Gray?" aku balik bertanya sambil tersenyum.
          "Ia sudah jauh membaik. Kapan-kapan kau boleh main ke sini, dia bisa masak makan malam untukmu," kata Tuan Gray sambil membenarkan posisi topinya. "Tapi sekarang kau cepat-cepat masuk saja ke dalam rumah, sepertinya cuaca bisa bertambah parah malam ini," sambungnya.
          Aku menggangguk, kemudian berjalan masuk ke dalam rumahku, rumah kecil dari kayu bercat cokelat dengan atap sederhana. Dengan kondisi seperti ini kupikir aku harus membeli kayu bakar untuk perapian dulu.
          Sekilas aku melihat ke rumah sebelahku dari jendela. Seorang wanita tua yang sudah kesulitan berjalan namun masih aktif membuat kue. Kupikir ia belum menyiapkan kayu bakar, jadi akan kubelikan juga untuknya.
          "Ini kayu yang kau inginkan, Nona Yvonne," ucap penjual kayu itu ramah.
          "Terimakasih banyak, Nyonya Mary," jawabku.
          Dengan santai aku berjalan meninggalkan toko tersebut menuju kediamanku. Tapi tentu saja aku juga harus memberikan kayu ini pada tetanggaku.
          "Permisi, Nyonya Maguerite, apa kau di dalam?" aku mengetuk pintu dengan perlahan-lahan. "Ini aku, Yvonne, tetangga sebelah."
          Pintu terbuka, tampak Nyonya Maguerite menyambutku. "Oh Yvonne, ayo silahkan masuk," ucapnya lembut.
          "Terimakasih," aku melangkah masuk, duduk di salah satu kursi kayunya dan meletakan kayu-kayu yang kubawa di sebelah perapian tak jauh dari tempatku duduk.
          "Yvonne, kau anak yang baik, sudah repot-repot membawakanku kayu. Ayo kau mau kubuatkan apa hari ini?" ujar Nyonya Maguerite yang masih sibuk berlalu-lalang dari ruang tamu ke dapurnya.
          "Tidak apa Nyonya Maguerite, aku hanya ingin membawakan kayu itu saja," aku menolak dengan halus.
          "Tapi kau tidak boleh pulang dengan tangan kosong. Ini, ambilah kue krim susu ini," kata Nyonya Maguerite sambil memberikan sepiring kue putih polos untukku. "Mungkin tampak sederhana, tapi aku jamin rasanya enak."
          Walau aku tidak terlalu mau merepotkannya, tapi supaya ia senang, aku mengambilnya. "Terimakasih banyak Nyonya Maguerite."
          "Sama-sama. Kapan-kapan kau boleh mampir lagi ke sini ya," jawabnya.
          Sesampainya di rumah, aku menyantap kue pemberian Nyonya Maguerite. Rasanya benar-benar lezat. Ia memang sering membuat kue di rumahnya, tapi kupikir ia sedikit kesepian karena jarang ada yang mencicipi kuenya.
          "Kau bilang kue buatanku enak? Terimakasih Yvonne," kata Nyonya Maguerite sambil menyuguhkan sepotong kue keju dan susu hangat.
          "Iya, aku menyukainya. Ngomong-ngomong, apa anda punya rencana menjual kue-kue itu?" tanyaku sambil memotong kue tersebut.
          "Tidak, aku membuat kue hanya untuk membuatku senang," jawabnya sambil duduk di kursi goyangnya dan meminum teh hangat. "Ini mengingatkanku pada almarhum suamiku," sambungnya.
          "Suami anda?"
          "Dulu, saat kami berdua masih muda, kami pernah bertengkar hebat, lebih hebat dari biasanya," Nyonya Maguerite mulai bercerita. "Lalu, di tengah hujan salju yang dingin seperti kemarin itu, tiba-tiba ia datang ke rumahku untuk membawakan sepotong kue." Sesekali Nyonya Maguerite tersenyum saat bercerita. "Itu hanya kue yang ditutupi krim susu sederhana seperti yang kuberikan padamu kemarin. Lagipula saat ia membawakannya kue itu sedikit tertutup salju. Tapi karena ia bilang bahwa itu buatannya sendiri, rasanya terasa lezat."
          Aku ikut tersenyum, mendengar cerita Nyonya Maguerite.
          "Tak peduli seberapa mahal bahan-bahan yang kau perlukan untuk membuat kue, tapi hati yang tulus akan memberikan kelezatan yang sesungguhnya," kata Nyonya Maguerite.
          Aku menggangguk-angguk tanda setuju.
          Setelah berbincang-bincang hampir 1 jam, aku pamit pada Nyonya Maguerite. Kami berdua tersenyum, karena tak biasanya kami punya teman ngobrol. Nyonya Maguerite berkata kapanpun aku merasa bosan, aku bisa mengunjungginya.
          Sesampainya di rumah, saat aku sedang santai membaca buku di dekat jendela, tampak keping-keping salju berjatuhan dari langit. Hari ini kurasa akan jadi hari yang dingin. Lamunanku terhenti saat mendengar suara pintu diketuk.
          "Iya sebentar," aku berusaha membuka pintu secepat kilat. "Pieter?"
          "Yvonne, aku hanya mampir untuk... meminta maaf. Aku sadar perbuatanku kemarin merugikanmu. Maaf, Yvonne," ucap Pieter, teman kuliahku yang sekarang tubuhnya tampak hampir membeku karena terhujani salju. 
          Aku yang melihat Pieter seperti itu langsung terdiam.
          "Ohya, aku lupa. Aku membawakanmu ini." Pieter membersihkan sekotak putih dari salju yang juga menutupinya. "Semoga ini bisa menjadi permintaan maaf. Aku membuatnya sendiri jadi... semoga kau menyukainya."
          Seketika semua rasa kesal dalam hatiku mencair dan hilang dari hatiku bagaikan salju. Tetapi, bukannya merasa dingin, aku malah merasakan kehangatan kembali menyelimuti diriku.
          "Aku pamit dulu. Terimakasih Yvonne,"
          "Tunggu, Pieter!" aku berusaha menghentikan langkah Pieter yang mulai berjalan menjauh dari rumahku. "Sekarang masih hujan, masuklah dulu, nanti kau sakit,"
          Mata Pieter menatapku dengan senyum. "Yvonne, terimakasih telah memaafkanku, dan masih bersikap baik padaku,"
          "Itu sudah seharusnya sebagai seorang teman," jawabku.
          Di dalam rumah, aku membuat 2 gelas coklat panas, juga memotong kue pembuatan Pieter. Memang itu hanya kue polos yang ditutupi krim sederhana, tetapi dengan perasaan cinta di dalamnya, semua terasa lebih baik. Tak peduli sedingin apa salju di luar, perasaan hangat dalam hati akan tetap menyelimutiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar