"Alice, kamu pendek kan? Ayo barisnya di depan, nanti gak keliatan,"
Kata kata seperti itu sudah sering kudengar berkali-kali. Bukan hanya pada saat berfoto, tapi juga saat pembagian kursi di kelas, jam olahraga, bahkan saat jam kosong sekalipun. Kuakui, tubuhku memang agak pendek untuk anak-anak seusiaku. Pantas saja mereka sering begitu.
"Alice, ayo tinggian dikit. Biar cantik dan ada yang suka,"
Ada yang bilang karena pendek aku jadi tak terlihat cantik. Sampai sekarang aku belum pernah punya pengagum apalagi pacar. Jangankan laki-laki, perempuan saja banyak yang bilang aku masih seperti anak-anak. Padahal aku sudah berusia 15 tahun.
"Makanya Alice, rajin-rajin olahraga. Mungkin masih bisa tinggi kok,"
Aku memang kadang berolahraga, tapi rasanya aku ini pendek karena gen. Jadi ya, terima saja. Anehnya, hampir semua orang di rumahku masih lebih tinggi dariku. Itu kenapa banyak yang tak percaya kalau aku pendek karena gen.
Sebentar lagi jam pelajaran fisika akan dimulai. Aku masuk ke kelas dan duduk di kursiku. Seperti yang kubilang tadi, karena faktor tinggi badan, aku duduk di paling depan dan tengah. Katanya supaya terlihat oleh guru. Tapi kurasa tak masalah, karena aku benar-benar bisa disadari keberadaannya oleh guru. Tidak seperti teman-teman yang lain, yang duduk di belakang dan jarang disadari oleh guru.
"Minggu depan kita ulangan! Sekarang bapak bagikan soal latihan, kalian kerjakan berdua-dua dengan sebelah kalian. Mengerti?"
Satu kelas menatap dengan tatapan kosong.
"Duh, maksud bapak, berdua-berdua ya dengan sebelah kalian gitu loh. Nih kayak Alice, sebelahnya Owen berdua. Begitu,"
Barulah satu kelas kompak mengucapkan "Oh...."
Guru fisika yang sudah agak kesal langsung meninggalkan ruangan. "Saya ada rapat penting hari ini. Mohon kalian jangan membuat keributan ya. Saya percaya kalian," kata guru itu sambil berlalu.
Setelah itu semua orang langsung sibuk mengerjakan dengan temannya. Tidak semua juga, beberapa ada yang malah kerja sama untuk bermain. Aku pun harus ikut kerja kelompok dengan teman sebelahku, Owen.
"Owen, kita bareng?" tanyaku untuk memulai pembicaraan.
"Um, iya," jawabnya.
Owen, anak laki-laki yang duduk di sebelahku. Dia tidak pendek sepertiku. Hanya saja kacamatanya benar-benar tebal. Penglihatan adalah alasannya duduk di depan. Dia cukup pintar dan sering bermain game, karena itu jarang ada yang mau berteman dengannya.
"Alice, kamu yang tulis, aku yang bacakan jawabanya," ucap Owen dengan singkat, padat, dan jelas.
"Okay," jawabku.
Aku sendiri tidak dekat dengannya, karena itu terasa sangat canggung. Kami tidak bicara banyak selama mengerjakan. Ia memang anak yang pintar. Bahkan ia tak perlu waktu lama untuk menyelesaikan tugasnya. Setelah selesai, tanpa terduga ia mengajakku mengobrol.
"Alice, menurutmu aku membosankan?" tanya Owen padaku, yang langsung membuatku kaget.
"Membosankan?" Aku bingung harus menjawab apa. Aku tidak terlalu dekat dengannya. "Tentu saja tidak," jawabku.
"Kau tidak perlu berbohong untukku Alice," jawabnya sambil membetulkan kacamatanya. Ia membalikkan kepalanya dariku.
Sepertinya aku salah bicara. Aku tidak bisa tinggal diam. "Menurutmu aku bagaimana?" tanyaku sambil berjalan ke depannya dan menatap matanya dengan senyum.
Owen terdiam. Sepertinya ia merasakan perasaan yang kurasa tadi. Akhirnya ia menjawab, "Kau cukup cantik,"
Aku berhenti menatap matanya. "Benarkah? Bukankah aku terlalu pendek untuk disebut cantik?" tanyaku iseng.
Dengan menunduk Owen lanjut berucap "Terserah kau saja. Tadi saja kamu berbohong kan?"
Aku berusaha tersenyum, "Tidak, aku tidak bohong. Tapi aku suka dibilang cantik. Terimakasih ya, walau aku tidak tau itu benar atau tidak," jawabku.
●○●
"Selamat ulang tahun Alice! Semoga makin baik, makin cantik, makin tinggi, biar banyak yang suka ya!"
"Ish, Bella, emang kalau pendek aku belom cantik?"
"Ya belom lah. Cepetan tinggi ya. Nanti pulang aku traktir susu deh,"
"Ugh, Bella,"
Bella, dia teman dekatku. Dia baik, tapi dia sering meledek tubuhku ini. Aku sih sudah kebal dibilang begitu, jadi perasaanku biasa saja.
Aku menatap meja tempat dudukku di kelas, di mana semua temanku meletakan hadiah yang mereka berikan padaku. Aku tertarik pada sekotak berukuran kira-kira 30×20×20 cm yang dibungkus kertas merah. Karena penasaran, aku membukanya.
Sebuah boneka kelinci putih berpita merah duduk tenang di dalam kotak tersebut. Menurutku itu imut. Aku langsung mengeluarkannya dan memeluknya. Kemudian aku menyadari ada selembar surat yang diselipkan padanya.
"Untuk Alice. Kau tidak perlu minder dengan penampilanmu. Jadilah dirimu apa adanya. Sekarang kau sudah cantik dan manis kok."
From : O
"Siapa yang menulis ini?" gumanku dalam hati. Sampai pintu kelasku tiba-tiba dibuka.
"Owen!" aku refleks memanggilnya.
Owen yang melihatku langsung bersiap keluar lagi dari kelas.
Aku mengejarnya, untungnya tidak terlalu jauh. "Owen, aku harus bilang sesuatu,"
"Ada apa lagi?" tanyanya tanpa senyum sedikitpun.
"Aku ingin berterimakasih untuk boneka yang kau berikan padaku," ucapku. "Tapi, aku lebih menyukai kata-katamu untukku. Itu benar-benar bermakna. Terimakasih banyak Owen," lanjutku. "Kau teman terbaikku."
Sejenak Owen terdiam. "Kau tahu, hadiah boneka kelinci melambangkan penerimanya yang cantik, manis, dan imut seperti kelinci," katanya.
"Kau pikir aku cantik?" tanyaku.
Owen terdiam lagi, lalu berkata "Tentu saja. Tidakkah kau menyadarinya?"
Aku tersenyum padanya. "Terimakasih, sudah menerimaku apa adanya, Owen,"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar