Jumat, 04 Maret 2016

Cerpen - Beneath the Glass

          Dunia terasa kacau. Semburat cahaya putih berkilauan di langit-langit menerangi ruangan. Tampak juga bola-bola putih memancarkan cahaya di sekelilingnya. Papan-papan yang tertutup kain putih ditata dengan rapi dengan makanan yang tampak buram bagaikan tumpukan salju. Ada juga yang tampak bening seperti kolam, di mana orang-orang mengambil minum dari sana.

          Aku terdiam di tepi ruangan, terus menunggu. Aku tidak mau masuk ke dalam kekacauan itu seorang diri. Aku butuh seseorang untuk menuntunku. Dengan alunan musik yang membuat semua orang di sana berdansa berpasangan membuatku semakin khawatir untuk memulainya. Entah berapa lama, tapi ini lebih baik daripada menabrak semua orang bahkan lebih parahnya menumpahkan makanan dan minuman yang disediakan.
          Aku akan bersabar, menanti siapa yang mau menemaniku. Aku sudah berusaha terlihat sebaik mungkin sekarang ini. Mungkin biasanya aku tak tampak cantik samasekali, namun kali ini aku berharap bisa ada yang menghargaiku. Tiba-tiba aku merasa ada benda yang memfokuskan cahaya menuju mataku.
"Arden, apa yang kau lakukan?" tanyaku.
"Valent, cukup sudah. Jangan seperti ini," ucap Arden dengan lembut sambil menatapku.
"Tidak Arden, tolonglah. Hanya kali ini aja, aku ingin sekali berdansa," jawabku dengan wajah sedih.
"Valent, baik tanpa kacamata maupun dengan kacamata kau tetap tampak cantik," tuturnya.
"Arden, tidak!"
"Sayangnya, tanpa kacamata membuatmu merasa kacau bukan? Karena itu, pakailah!"
         Arden berusaha memakaikan kacamata padaku, tapi aku berusaha menepis tangannya.
"Arden, tidak ada yang bisa tertarik padaku dengan kacamata itu! Mungkin aku tampak aneh di sekolah, tapi ayolah, ini pesta. Aku harus tampil secantik mungkin, berharap ada yang mau mengajakku ke tengah ruangan dan berdansa," ucapku sedih.
"Valent, seseorang yang akan mengajakmu berdansa malam ini, adalah orang yang mencintai dirimu apa adanya,"
          Sejenak aku tertegun, meresapi setiap kata-katanya dan mencoba memahaminya. Kemudian aku kembali menatapnya.
"Menurutmu begitu?" tanyaku.
"Tentu saja, aku yakin sekali," jawabnya dengan percaya diri.
          Aku tersenyum. Ucapannya benar-benar menyentuhku. Mungkin aku kehilangan rasa percaya diri dengan kacamata. Tapi tanpa kacamata, aku bisa kehilangan duniaku yang lebih berharga dari apapun. Aku membetulkan posisi kacamataku yang dipakaikan Arden tadi, dan menatap sekelilingku.
         Dunia terasa begitu indah. Lampu kristal besar menerangi ruangan, dengan lampu-lampu kecil di sekelilingnya. Makanan dan minuman manis tertata rapi di meja-meja. Aku bisa melihat cupcake, cookies, dan macaroon dengan jelas. Senang rasanya bisa kembali ke duniaku lagi. Aku merasa bahagia, kemudian tersenyum pada Arden.
"Arden, terimakasih, untuk selalu hadir di saat aku membutuhkanmu," ucapku dengan volume suara agak kecil.
"Itu sudah seharusnya, Valent," jawabnya sambil tersenyum.
          Kami berdua sama-sama tersenyum. Tapi, entah mengapa aku tiba-tiba merasa darah mengalir begitu deras ke kedua pipiku, membuatnya memerah. Aku menundukkan kepalaku supaya tidak tampak begitu memalukan.
"Kau bilang tadi sangat ingin berdansa kan? Jadi, maukah kau berdansa denganku?" tanya Arden sambil sedikit membungkuk, berusaha melihat wajahku yang masih tertunduk.
"Tentu saja, untuk seseorang yang menyadarkanku hal penting malam ini!" jawabku.
         Itu adalah dansa pertama terindah bagiku. Bukan karena aku sukses menghias diriku sampai bertemu dengan seseorang yang menyukaiku, melainkan karena aku menemukan seseorang yang bisa menerima aku dengan kacamataku. Aku yakin ia benar-benar mencintaiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar